AkuratMaluku.com – Polemik patahnya tongkang milik PT Batu Tua Raya (BTR) yang mengangkut material tambang di Pelabuhan Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, pada 26 Agustus 2025 lalu, kian menyeret perhatian publik. Tidak hanya soal pencemaran lingkungan, melainkan juga menyangkut keabsahan hasil uji laboratorium yang digunakan perusahaan dalam melaporkan kondisi perairan sekitar.
Anggota DPRD Maluku, Alhidayat Wajo, menegaskan bahwa hasil pengujian yang disampaikan perusahaan tidak bisa dijadikan dasar hukum. Menurut dia, laboratorium yang dipakai PT BTR tidak memiliki akreditasi resmi sebagaimana disyaratkan undang-undang.
“Laboratorium yang tidak terakreditasi tidak punya keabsahan secara hukum. Itu berarti data yang dihasilkan tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujar Wajo dalam rapat bersama Komisi II DPRD Maluku, bersama Kepala Dinas DLH Provinsi Maluku dan Kadis ESDM Maluku, Jumat (26/9/2025).
Ia menambahkan, satu-satunya data yang bisa dijadikan rujukan adalah hasil uji laboratorium yang terakreditasi dan diakui oleh Kementerian Lingkungan Hidup atau Kementerian Kesehatan. Tanpa itu, seluruh klaim mengenai pH, kandungan tembaga, maupun zat pencemar lain yang disebut perusahaan, dianggap tidak memiliki dasar hukum. “Pemerintah daerah sampai sekarang belum mengambil langkah tegas karena patokannya masih pada data dari laboratorium perusahaan,” kata Wajo.
Nada serupa disampaikan anggota Komisi II lainnya, Andre Taborat. Ia mengingatkan bahwa persoalan ini tidak boleh dianggap enteng karena menyangkut kesehatan masyarakat yang menggantungkan hidup pada laut.
“Kalau laut tercemar, ikan ikut tercemar. Kalau ikan tercemar, masyarakat yang mengonsumsinya akan terkena dampak kesehatan. Itu efek domino yang tidak bisa diabaikan,” ujar Politisi PDIP itu.
Ia menilai perlu ada penelitian lanjutan oleh laboratorium independen untuk memastikan sejauh mana pencemaran terjadi. Menurutnya, penggunaan laboratorium milik perusahaan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. “Bukan soal kita menuduh, tapi secara logika hukum dan publik, hasil uji sebaiknya dilakukan lembaga independen agar akurat dan bisa dipercaya,” tambahnya.
Sebelumnya dalam rapat itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku, C. Siauta, dalam kesempatan yang sama menjelaskan bahwa pihaknya sejak awal telah menerima laporan berjenjang dari perusahaan. Laporan itu menyebut adanya pemantauan di empat titik lokasi patahnya tongkang.
Hasil uji pertama memang belum menunjukkan pencemaran. Namun, pada uji berikutnya ditemukan sejumlah parameter yang melampaui baku mutu, antara lain pH, tembaga (Cu), dan seng (Zn). “Masalahnya, parameter yang diuji hanya delapan, sementara aturan mewajibkan 37 parameter. Jumlah titik sampel juga terlalu sedikit, hanya empat titik, padahal idealnya bisa mencapai belasan,” kata Siauta.
Ia menambahkan, DLH bersama DLH Kabupaten Maluku Barat Daya kemudian memperluas pengambilan sampel menjadi 16 titik. Dari uji terbaru, pH memang sudah turun dan tidak lagi melampaui baku mutu, tetapi kandungan tembaga dan seng masih berada di atas ambang batas. “Karena itu kami akan merekomendasikan agar pengujian dilakukan oleh laboratorium independen yang terakreditasi, misalnya Balai Pelayanan Jasa Industri di Ambon,” ujarnya.
Rangkaian pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kasus patahnya tongkang PT BTR bukan hanya masalah teknis, melainkan juga menyangkut transparansi data. Tanpa hasil uji dari laboratorium independen, publik sulit memastikan kondisi perairan Wetar yang selama ini menjadi sumber hidup masyarakat pesisir.
Hingga kini, DPRD Maluku menilai pemerintah daerah belum bertindak tegas. Sementara itu, warga menunggu langkah nyata yang tidak hanya mengandalkan laporan perusahaan, tetapi juga menjamin hak masyarakat atas lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.(*)