AkuratMaluku.com – Komisi II dan Komisi I DPRD Provinsi Maluku melakukan kunjungan lapangan (on the spot) ke Puncak Nusaniwe lokasi sengketa lahan di kawasan Air Low, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, yang saat ini menjadi titik persoalan antara masyarakat adat dan Pemerintah termasuk TNI AU Lanud Pattimura Ambon, Kamis (31/7/25).
Dalam kunjungan ini, Komisi II dipimpin langsung Ketua Komisi II, Irawadi, didampingi Wakil Ketua Nita Bin Umar, Wakil Ketua John Laipeny, dan anggota Anos Yeremis. Peninjauan dilakukan bersama Komisi I DPRD Maluku guna menindaklanjuti keluhan masyarakat terkait penggunaan lahan untuk proyek strategis tanpa adanya sosialisasi dan kejelasan status tanah.
Usai on the spot itu, Ketua Komisi II, Irawadi, menjelaskan bahwa dari hasil peninjauan, diketahui terdapat tiga rencana pembangunan yang akan dilakukan di lahan seluas 8,5 hektare di Puncak Nusaniwe. Ketiga rencana penbangunan itu adalah: pembangunan Stasiun Radar milik TNI AU (Lanud Pattimura), proyek energi listrik tenaga angin oleh pihak swasta, dan program pengelolaan sumber air bersih.
“Persoalannya bukan hanya pada rencana pembangunan, tetapi pada kurangnya informasi kepada masyarakat. Mereka tidak tahu-menahu bahwa ada surat keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup tahun 2016 yang kemudian diperbarui pada 2024 untuk penggunaan lahan ini, termasuk tiga Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Lingkungan hidup yang diterbitkan untuk satu objek yang sama, ” ujar Irawadi.
Menurut Politisi NasDem ini, proyek radar TNI AU memang penting dan strategis dalam bidang pertahanan, namun tetap harus mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat yang selama ini menguasai dan menjaga lahan tersebut secara turun-temurun.
Atas persoalan ini, Irawadi menegaskan bahwa Komisi II dan I akan segera menjadwalkan rapat gabungan dengan menghadirkan berbagai pihak terkait, di antaranya Dinas Kehutanan, BPKHTL, PLN, serta pihak swasta yang mengusulkan untuk pembangunan proyek listrik tenaga angin dengan membangun kincir angin di lokasi yang sama.
“Kita harus duduk bersama untuk membahasanya . Mana yang hutan lindung, mana yang hutan adat. Jangan sampai tumpang tindih ini menimbulkan konflik berkepanjangan,” tegasnya.
Ia juga mewanti-wanti agar tidak muncul kesan bahwa pemerintah pusat seolah-olah membenturkan masyarakat lokal dengan institusi negara seperti TNI. “Ini bisa menjadi preseden buruk jika tidak segera diklarifikasi,” tambahnya.
Lebih lanjut, Irawadi menyampaikan bahwa DPRD Maluku akan menindaklanjuti hasil kunjungan ini dengan berkonsultasi langsung ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta Kementerian Pertahanan di Jakarta.
“Kita perlu mendapatkan penjelasan resmi terkait dasar hukum penerbitan surat keputusan pembebasan lahan ini. Karena ini bukan keputusan kepala daerah, tapi keputusan pusat. Maka penjelasan dan klarifikasi harus datang dari pusat juga,” ujarnya.
Komisi berharap agar penanganan persoalan ini tidak hanya berpihak pada percepatan pembangunan nasional, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, serta memastikan bahwa proses pembangunan berjalan dengan adil, terbuka, dan tidak menimbulkan gejolak sosial.(***)






